Tulang Bawang Barat – Harga pupuk subsidi yang seharusnya menjadi penolong petani justru dikeluhkan warga Tiyuh Kagungan Ratu Agung. Sejumlah anggota kelompok tani mengaku harus membayar harga jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah.
Salah satu anggota kelompok tani mengungkapkan, ia harus membayar Rp310 ribu untuk satu paket pupuk berisi urea dan ponska.
“Saya ngambil dua kwintal, sekwinyal nebusnya Rp310 ribu dengan ketua kelompok Sardi,” ujarnya.
Keluhan serupa juga datang dari anggota kelompok lain.
“Kelompok saya beli dari kios Agil, harganya Rp310 ribu,” ungkapnya.
Ketua kelompok tani, Sardi, membenarkan harga tersebut diputuskan melalui musyawarah anggota, namun tetap berada di atas HET.
“Saya ketua kelompok, kalau ketua Gapoktan itu Sutarji. Kalau anggota nebusnya Rp300 ribu, saya setor ke kios dan diketahui Gapoktan Rp305 ribu. Itu sudah termasuk biaya transportasi. Harga dari kios Agil Rp280 ribu sepaket, dia sudah ambil Rp10 ribu per sak,” jelas Sardi.
Namun, pengurus kelompok di RK 1, Darto, menyebut harga yang diterima petani bahkan lebih tinggi.
“Urea Rp160 ribu, Ponska Rp165 ribu, jadi sepasang Rp325 ribu. Ketua Gapoktan kami Sutarji jarang juga diambil. Kalau tidak diambil, hilanglah. Diduga dijual ke pihak lain,” ujar Darto.
Nama Sutarji, ketua Gapoktan, berulang kali disebut anggota kelompok tani sebagai pihak yang diduga mengatur harga. Namun, Sutarji membantah tuduhan tersebut dan justru menuding kios Agil sebagai pihak yang menjual pupuk di atas ketetapan pemerintah.
“Kalau harganya dari kios, urea Rp112 ribu, ponska Rp115 ribu per sak. Ditambah setoran untuk kios Rp15 ribu per sak. Jadi harga sudah jauh dari HET yang ditetapkan pemerintah,” tegasnya.
Praktik jual beli pupuk subsidi di atas HET jelas merugikan petani. Pemerintah menetapkan harga subsidi agar petani bisa membeli dengan harga terjangkau, namun kenyataan di lapangan justru sebaliknya. Ada tambahan biaya transportasi, biaya tenaga, hingga setoran untuk kios yang membuat harga semakin melambung.
Jika praktik ini terus dibiarkan, para petani terancam menjerit dan ketahanan pangan – yang menjadi program pemerintah – bisa terganggu. Siapa yang harus bertanggung jawab? Ketua Gapoktan, kios, atau ada pihak lain yang bermain di balik rantai distribusi pupuk subsidi?
